Rakyat Morosi Melawan Raksasa Tambang Nikel
Oleh : Erwin Usman

Berada di sudut tenggara Pulau Sulawesi, tepatnya di Kecamatan Morosi, Kabupaten Konawe, sebuah megakompleks industri nikel menjulang tinggi. PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI), yang hadir pada 2014, dan PT Obsidian Stainless Steel (OSS) pada 2016, adalah dua raksasa tambang yang telah mengubah kampung tambak menjadi kawasan industri berbasis batu bara. PLTU captive mereka menyala hampir tanpa henti, membawa deru, debu, dan panas ke udara yang dulu bersih dan tenang.
Namun di balik geliat ekonomi itu, tersembunyi kerugian yang tak tercatat di neraca keuangan: anak-anak yang batuk setiap malam, tambak yang mati, air yang tercemar, dan suara mesin yang mengusir tidur.
Ketika rangkaian protes rakyat tak digubris, warga akhirnya melawan melalui jalur hukum. Bersama organisasi lingkungan hidup dan pengacara publik—WALHI Sultra, LBH Kendari, serta YLBHI-LBH Makassar—mereka mengajukan gugatan perdata lingkungan ke Pengadilan Negeri Unaaha. Gugatan tersebut terdaftar dengan Nomor Perkara 28/Pdt.Sus-LH/2024/PN Unh pada 9 Desember 2024.
Hukum dan Hak yang Terkikis Debu
Gugatan ini tidak hanya menguji dua korporasi besar, melainkan juga mempertanyakan keberpihakan negara dan keberanian lembaga hukum. Landasan hukum gugatan ini kuat, yakni Pasal 1365 KUH Perdata tentang perbuatan melawan hukum, Pasal 88 UU No. 32/2009 tentang tanggung jawab mutlak atas pencemaran (strict liability), Pasal 28H UUD 1945 tentang hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta Putusan MK No. 18/PUU-XII/2014 yang mengakui hak LSM lingkungan untuk menggugat demi kepentingan publik.
Dengan demikian, gugatan ini bukan sekadar pembelaan terhadap ruang hidup, tetapi bentuk perjuangan konstitusional untuk keadilan ekologis. Langkah warga Morosi mengingatkan kita pada ungkapan Vandana Shiva: “Ekologi bukan sekadar ilmu tentang bumi. Ia adalah etika tentang bagaimana manusia memperlakukan rumahnya sendiri.”
Jejak Bukti di Tanah dan Tubuh
Gugatan ini dilandasi dengan bukti konkret. Data dari Puskesmas Morosi mencatat lonjakan kasus ISPA sejak beroperasinya 14 PLTU captive. Pada tahun 2020 tercatat 440 kasus, meningkat menjadi 704 kasus, dan pada 2022 mencapai 796 kasus. Pemeriksaan langsung oleh hakim menemukan air tambak yang menghitam, debu yang menempel di rumah dan tanaman, serta suara bising yang terus bergema sepanjang malam. Kesaksian warga juga menunjukkan dampak langsung berupa iritasi mata, gangguan pernapasan, dan kerugian ekonomi akibat gagalnya panen tambak.
Ketiga bukti ini memperkuat keterkaitan antara aktivitas industri dan krisis kesehatan serta ekologi yang dialami masyarakat. Seperti kata David Boyd, Pelapor Khusus PBB untuk HAM dan Lingkungan: “Lingkungan hidup tidak punya pengacara. Tapi ketika rakyat sudah menggugat, mereka sedang menjadi suara dari yang bisu.”
Negara yang Absen, Warga yang Bangkit
Gugatan ini turut menyeret institusi negara: Gubernur Sulawesi Tenggara, Dinas Lingkungan Hidup Konawe, dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)—atas dugaan pembiaran dan kelalaian dalam pengawasan. Negara tampak lebih sibuk menjaga iklim investasi daripada udara yang dihirup warganya.
Yang Diminta: Keadilan, Bukan Sekadar Kemenangan
Tuntutan warga bukanlah sesuatu yang utopis. Mereka menuntut penghentian sementara operasional PLTU captive, pemulihan lingkungan di tambak dan pesisir, pemberian ganti rugi kepada warga terdampak, serta evaluasi menyeluruh hingga pencabutan izin lingkungan bagi perusahaan yang terbukti melanggar.
Tuntutan ini sesungguhnya adalah hak dasar: untuk hidup sehat, tenang, dan bermartabat di tanah sendiri.
David Harvey, seorang geografer kritis, pernah menegaskan: “In a capitalist society, the highest aim is profit, not human well‑being or environmental sustainability.” Dalam masyarakat kapitalis, keuntungan menjadi tujuan tertinggi, bukan kesejahteraan manusia atau keberlanjutan lingkungan. Itulah konteks yang mengkritisi hadirnya industri besar tanpa kontrol di Morosi.
Jika gugatan ini dikabulkan, ia akan menjadi preseden penting bagi hukum lingkungan di Indonesia, membuka harapan bagi komunitas lain yang menghadapi nasib serupa. Namun jika tidak, setidaknya gugatan ini menjadi catatan moral bahwa rakyat pernah melawan penghancuran sumber hidup mereka dengan keberanian.
Dari Morosi, Untuk Keadilan Ekologis Kita Semua
Di Morosi, hukum sedang diuji. Tapi lebih dari itu, keteguhan dan keberanian rakyat sedang diperjuangkan. Gugatan ini bukan sekadar berkas legal, melainkan jeritan kolektif untuk keadilan yang selama ini dibungkam. Boaventura de Sousa Santos, sosiolog hukum asal Portugal, mengatakan: “The struggle for global social justice must be a struggle for global cognitive justice as well.”
Jika keadilan tak ditemukan dalam undang-undang, maka rakyat mencarinya lewat luka. Dan dari luka itulah hukum baru lahir—bukan dari istana, tapi dari desa, dari rakyat biasa yang tak ingin anak-anak mereka tumbuh dalam debu dan bising mesin.
Untuk warga Morosi, doa dan dukungan kami bersama kalian. Semoga gugatan ini tidak hanya dimenangkan di atas kertas, tetapi juga mengembalikan hak atas ruang hidup yang selama ini dirampas. Perjuangan kalian hari ini adalah harapan banyak orang untuk esok hari.
Pugna pro vita! — Berjuang demi kehidupan.