Opini

Mafia Beras Oplosan

Oleh : Erwin Usman

Di negeri ini, bahkan beras bisa menipu. Yang lebih mengherankan, kebohongan itu bukan dilakukan oleh pedagang kecil di sudut pasar, melainkan oleh perusahaan-perusahaan raksasa, di rak-rak swalayan yang selama ini mengklaim bersih dari manipulasi.

Terdengar keterlaluan? Mari kita lihat faktanya.

Pekan ini, Satgas Pangan Polri dan Kementerian Pertanian mengumumkan temuan hasil investigasi terhadap 268 merek beras premium yang dijual di 10 provinsi. Hasilnya: 212 di antaranya, atau sekitar 85,56%, tidak memenuhi standar SNI. Bahkan 60% dijual di atas HET (Harga Eceran Tertinggi), dan sekitar 22% tidak memenuhi berat bersih yang tertera di kemasan.

Yang lebih mencengangkan, banyak dari beras-beras itu ternyata berasal dari beras subsidi (SPHP) yang seharusnya diperuntukkan bagi rakyat, tapi dioplos dan dikemas ulang lalu dijual dengan label “premium”. Menteri Pertanian Amran Sulaiman menyebut, “Ini seperti menjual emas 18 karat tapi mengaku 24 karat.” Selisih harganya bisa Rp2.000 hingga Rp3.000 per kilogram.

Ini bukan sekadar pelanggaran label atau soal pengemasan. Ini adalah penipuan terang-terangan: memanipulasi data mutu, menyalahgunakan bantuan pangan, dan mengeruk keuntungan dari kelompok masyarakat yang paling rentan. Tujuannya jelas: memperkaya mereka yang sudah terlalu kenyang.

Menurut Kementan, kerugian negara akibat praktik ini ditaksir mencapai Rp2 triliun per tahun. Dalam lima tahun, nilainya bisa menembus Rp10 triliun—angka yang cukup untuk membangun 5.000 puskesmas, atau menggratiskan listrik jutaan rakyat miskin. Dan itu baru dari sisi negara. Dari sisi konsumen, kerugian mencapai Rp99 triliun per tahun—uang yang dibayar rakyat untuk mutu beras yang tak sesuai janji.

Yang bikin miris, nama-nama yang disebut dalam penyelidikan bukan pemain sembarangan. Ada Wilmar Group, konglomerat agribisnis yang menguasai sebagian besar rantai pangan. Ada Japfa, dan juga Food Station Tjipinang Jaya—BUMD milik Pemprov DKI. Semuanya kini sedang “diperiksa” oleh Bareskrim. Tapi kita tahu betul, “diperiksa” bisa berarti banyak hal di republik ini—kecuali satu: keadilan yang betul-betul ditegakkan.

Karena ini bukan sekadar tentang siapa yang bersalah. Tapi siapa yang cukup lemah untuk dikorbankan agar kasus ini tampak “selesai”. Siapa yang bisa jadi kambing hitam agar sistem tetap terlihat bekerja, meskipun yang sesungguhnya bertanggung jawab tetap aman di balik meja kekuasaan.

Bagi sebagian orang, ini mungkin hanya urusan nasi di piring. Tapi bagi negara yang katanya berpihak pada rakyat kecil, ini adalah ujian moral yang besar: apakah negara benar-benar tahu siapa yang harus dilindungi, dan siapa yang sedang menipunya dari dalam?

Jika praktik seperti ini hanya jadi berita sesaat lalu menghilang di balik audit, maka yang sedang kita tanam bukan lagi padi, tapi benih ketidakpercayaan. Dan ketika benih itu tumbuh subur di ladang hukum dan keadilan, maka yang akan tumbang bukan cuma kepercayaan publik—tapi legitimasi negara itu sendiri.

Setelah kasus minyak goreng, garam, dan pagar laut, kini muncul lagi: mafia beras. Dan mungkin yang paling menyesakkan dari semua ini adalah: kita tidak lagi kaget.