Menyoal Ide dan Realisasi Jembatan Buton Muna
Oleh : Khairil Anwar

Beberapa waktu belakangan, media sosial kita diramaikan oleh klaim seorang anggota DPD, Umar Bonte, yang menyebut bahwa inisiasi pembangunan Jembatan Buton-Muna (Tona) merupakan buah kerja keras Pj. Gubernur Sultra, Andap Budhi Revianto. Klaim itu muncul dalam bentuk konten yang, seperti biasa, memantik perdebatan. Tapi benarkah demikian?
Kita perlu mengingat bahwa sejarah tidak bisa ditulis ulang hanya berdasarkan narasi tunggal di media sosial. Gagasan tentang Jembatan Tona sudah jauh lebih lama hadir dalam ruang publik Sulawesi Tenggara. Bahkan, sejak era Gubernur La Ode Kaimuddin, wacana penghubung antara Pulau Muna dan Pulau Buton ini telah dilontarkan, meski belum sempat direalisasikan akibat keterbatasan dukungan anggaran dari pemerintah pusat.
Secara faktual, Pemkot Baubau telah menuntaskan studi kelayakan (feasibility study) proyek ini sejak satu dekade silam. Namun, setelah itu, progresnya tersendat. Baru pada 2019, ketika beberapa legislator Sultra, termasuk Ridwan Bae, mulai mendorong percepatan proyek ini, wacana Jembatan Tona kembali mengemuka. Bahkan Ridwan Bae sempat melontarkan ide menyambungkan Pulau Muna langsung ke daratan Konawe Selatan—sebuah visi besar untuk menjadikan Sultra lebih terintegrasi.
Tak hanya berhenti di wacana, Kepala Balitbang saat itu, Dr. Sukanto Toding, mulai menggerakkan langkah konkret dengan menganggarkan penelitian lanjutan. Tim yang dikomandoi oleh Dr. Bahtiar dan Dr. Romi Tamburaka turun tangan menyelami aspek teknis dan sosial ekonomi dari proyek ini. Hasil penelitian mereka menggambarkan kompleksitas medan—arus laut yang kuat dan kedalaman selat lebih dari 100 meter membuat model jembatan kaki-kaki menjadi mustahil. Solusinya? Jembatan gantung atau layang.
Selain itu, peninjauan ulang lokasi titik nol di kedua sisi jembatan dilakukan berdasarkan temuan geologis dan pertimbangan kultural. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa jembatan ini memiliki potensi besar untuk meningkatkan mobilitas, akses pasar, dan pertumbuhan ekonomi wilayah sekitarnya.
Sayangnya, pandemi COVID-19 sempat meredam geliat proyek ini. Baru pada 2021, Gubernur Ali Mazi kembali menghidupkan isu ini, bahkan sempat meninjau lokasi bersama pejabat pusat dan kepala daerah setempat. Namun, setelah itu, semuanya kembali senyap.
Yang menarik, selama masa kepemimpinan Andap Budhi Revianto sebagai Pj. Gubernur, tak ada satu pun catatan resmi yang menunjukkan bahwa ia membawa isu Jembatan Tona ke permukaan. Maka menjadi pertanyaan besar: dari mana asal klaim Umar Bonte bahwa proyek ini adalah inisiatif Andap? Membingkai sejarah berdasarkan konten sepihak bukan hanya menyesatkan, tapi juga berbahaya.
Kini, angin segar kembali datang. Gubernur terpilih 2025–2030, Andi Sumangerukka (ASR), tampaknya benar-benar serius membawa proyek ini maju. Dari sejumlah pertemuan dengan masyarakat dan kepala daerah di Pulau Buton, hingga lobi berulang di kementerian, ASR menunjukkan bahwa proyek ini tidak sekadar wacana. Dan puncaknya, ia berhasil mengajak Menteri PUPR meninjau langsung titik nol Jembatan Tona—dengan hasil: proyek ini dijadwalkan masuk anggaran 2026.
Di titik ini, mungkin sudah waktunya bagi kita—dan terutama para politisi konten—untuk berhenti saling mengklaim dan mulai membuka ruang kolaborasi. Jika Jembatan Tona nanti benar-benar berdiri, ia bukanlah monumen satu orang, tetapi buah dari kerja banyak pihak. Maka, bermedsoslah dengan bijak. Sejarah tak butuh pahlawan tunggal, ia hanya butuh kejujuran.
NOTE : Redaksi tidak bertanggung jawab pada isi tulisan dari opini yang bersangkutan.