Ingin Kawin
Oleh : Saleh Hanan

Suara yang sama. Entah mengabarkan, entah mencari. Antara kesaksian atau hasrat ingin kawin. Begitulah polanya: pada burung, pada semua makhluk yang bersuara.
Pagi itu, hujan turun seperti kemarin. Hari kedua tanpa jeda, hanya sesekali berubah menjadi rintik yang halus. Sinar matahari tak pernah menembus awan, membuat pagi, siang, hingga petang di pulau ini diselimuti warna yang sama: kelabu.
Di kampung, banyak penduduk meringkuk di balik sarung. Fantasi mereka melayang—tentang pekerjaan yang tertunda, janji yang molor, atau sekadar rasa malas yang dipeluk udara dingin.
Tapi tidak dengan dua ekor burung kakaktua yang melintas di langit Dusu Enunu. Mereka bukan sekadar terbang. Kemarin, seekor saja, terbang sendiri menembus hujan dari barat laut ke hutan kenari di tenggara pulau. Suaranya pendek, tajam—cekak.
Namun pagi ini berbeda. Mereka datang berdua. Sepasang. Mengepak di udara, berputar dengan lengkung yang tak tentu, seperti menari. Dari atas sana mereka melihat jalan-jalan berkelok, dan mereka mengikutinya. Entah untuk bermain-main, entah memang begitu kalau sedang ingin kawin. Tak ada suara kali ini. Hanya sayap yang mengiris lembut udara, bagai simfoni paling halus.
“Mumpung hujan mengurung para pemburu dalam sarung…”
Begitu bisik angin, pada dedaunan, pada siapa saja yang sudi mendengar.