Opini

ROJALI vs ROBALI

Oleh : Erwin Usman

Setiap akhir pekan, pemandangan di pusat perbelanjaan hampir selalu sama: antrean mengular di bioskop, suara anak-anak memenuhi playground, pasangan muda menyeruput kopi kekinian, dan kamera ponsel sibuk mengabadikan dekorasi atau pertunjukan seni.

Dari kejauhan, negeri ini tampak hidup—ramai, penuh warna, dan seolah ekonomi tengah menggeliat. Tapi kalau diamati lebih saksama, ada satu detail yang tak bisa diabaikan: banyak yang datang, tapi jarang yang belanja. Fenomena ini belakangan dikenal sebagai rojali—rombongan jarang beli.

Mereka hadir di mal, food court, atau toko ritel, tapi pulang dengan kantong kosong. Sebagian besar hanya melihat-lihat, duduk-duduk, menikmati AC gratis, dan sesekali memotret makanan yang dipesan ala kadarnya. Transaksi? Tipis. Bahkan kadang nihil.

“Jumlah pengunjung mal memang naik, tapi omzet tumbuh jauh lebih kecil. Ini sinyal daya beli yang melemah,”
— Alphonsus Widjaja, Ketua Umum APPBI

Data dari APPBI menunjukkan, jumlah pengunjung pusat belanja naik sekitar 10 persen dibanding tahun lalu. Tapi kenaikan omzet tidak sebanding. Ada anomali kecil yang bisa jadi pertanda gejala besar.

Ekonom Bhima Yudhistira dari CELIOS menyebutnya sebagai jebakan ilusi kelas menengah. Mereka tampak “baik-baik saja”: naik mobil, staycation, unggah gaya hidup. Tapi di balik itu semua, cicilan menumpuk, harga pangan makin tinggi, kartu kredit mengejar, dan tabungan makin tipis.

“Hidup seperti biasa, tapi dengan kecemasan yang dipendam,”
— Bhima Yudhistira

Bagi anak muda, bahkan muncul tren window shopping therapy: jalan-jalan ke mal untuk “healing”, meski tak membeli apa-apa. Cukup merasa seperti orang normal di tengah tekanan ekonomi.


Ironisnya, di saat yang sama, data kemiskinan nasional justru terlihat membaik. Menurut BPS, per Maret 2025, hanya 8,47% penduduk Indonesia yang masuk kategori miskin. Angka ini menyiratkan optimisme. Tapi kenyataannya, banyak yang masih berjuang sekadar makan dua kali sehari.

Bank Dunia memakai standar berbeda: untuk negara berpenghasilan menengah atas seperti Indonesia, garis kemiskinan ditetapkan sebesar US$6,85 per hari—sekitar Rp100 ribu per orang. Berdasarkan standar ini, lebih dari 68% warga Indonesia, atau sekitar 194 juta jiwa, tergolong miskin!

Kenapa bisa sejauh itu selisihnya?

Karena BPS menetapkan garis kemiskinan hanya Rp609.160 per bulan, atau sekitar Rp20 ribu per hari. Kalau sedikit di atas itu, seseorang tak dianggap miskin. Tapi coba belanja ke pasar hari ini dengan uang segitu. Lauk pauk? Ongkos? Bahkan kopi sachet pun nyaris tak cukup.

“Pejabat yang membuat data ini, atau yang mempercayainya, sebaiknya lebih sering diajak ke pasar. Biar tahu uang Rp20 ribu bisa beli apa.”

Inilah mengapa angka kadang menipu. Di atas kertas kita terlihat makmur. Tapi di lapangan, kasir sepi, pedagang bingung, ibu rumah tangga memilih tempe ketimbang ayam, anak kos bertahan hidup dengan mi instan.


Fenomena rojali bukan sekadar guyonan urban, tapi cerminan rapuhnya ekonomi rumah tangga. Ini adalah gambaran kelas “nyaris miskin”—mereka yang punya penghasilan, tapi hidup hanya sejengkal dari jurang.

Sekali jatuh sakit, sekali di-PHK, atau harga beras naik sedikit saja—mereka langsung terlempar ke dalam kemiskinan sejati. Mereka mungkin tampak “baik-baik saja”: pakai ponsel, pakaian bersih, nongkrong di kafe—tapi tak punya bantalan saat ekonomi terguncang.

“Kebijakan sosial kita harus mulai membaca yang tak tercatat. Bukan hanya data di atas kertas, tapi juga kenyataan di lapangan.”

Rojali mungkin terdengar lucu. Tapi ini bukan sekadar istilah. Ini tentang isi dompet yang makin tipis, tentang orang-orang yang datang ke mal untuk sekadar cuci mata, menghirup aroma makanan, lalu pulang dengan belanjaan kosong—dan kepala sedikit lebih ringan.

Dan mungkin, inilah cara rakyat untuk bertahan: datang, lihat-lihat, dapat hiburan, lalu pulang.

Siapa tahu suatu saat nanti kita akan dengar istilah baru: robali—rombongan banyak beli.

Tapi untuk sekarang?

Lihat-lihat dulu tak apa. Yang penting tetap waras.

“Kini, satu-satunya belanja yang masih gratis adalah harapan. Dan syukurlah, belum kena pajak.”