MENJINAKKAN MAHASISWA DENGAN DANA RISET
Oleh : Erwin Usman

SETELAH upaya pemerintah membujuk kampus dengan konsesi tambang tak berbuah hasil, kini muncul strategi baru. Namanya terdengar gagah: Program Mahasiswa Berdampak: Pemberdayaan Masyarakat oleh BEM (PM-BEM). Inisiatif yang diluncurkan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) ini dimulai awal Juli 2025, dengan pengajuan proposal yang sudah tiga kali diperpanjang—terakhir pada Selasa, 12 Agustus 2025. Nilai pendanaan mencapai Rp 120 juta per proposal, bahkan hingga Rp 300 juta untuk riset unggulan (Media Indonesia, 9/8).
Rekan Kolaborasi Kekuasaan
Bagaimana bentuk program ini? Dirjen Riset dan Pengembangan Kemendiktisaintek, Fauzan Adziman, pada 14 Mei 2025 menjelaskan bahwa mahasiswa—melalui Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM)—akan menjadi agen transformasi yang menginisiasi gerakan sosial berbasis riset kampus. Harapannya, masyarakat mendapat akses lebih luas ke teknologi dan terjadi perubahan nyata di desa.
Narasi tersebut terdengar ideal. Namun, ada potensi jebakan: tema, metode, hingga kesimpulan riset dapat diarahkan sesuai agenda kementerian. Akibatnya, BEM berisiko kehilangan kebebasan merumuskan prioritas penelitian yang lahir dari kegelisahan politik dan sosialnya sendiri.
Nada yang lebih gamblang diungkap Kepala LLDikti Wilayah IV Jawa Barat-Banten, Lukman, pada 9 Agustus 2025: riset BEM dinilai lebih bermanfaat ketimbang demonstrasi mengkritik pemerintah. “Sekarang itu kita kolaborasi saja daripada mengkritisi pemerintah,” ujarnya.
Pernyataan ini jelas menandai pergeseran paradigma: dari mahasiswa sebagai pengontrol kekuasaan, menjadi rekan kolaborasi kekuasaan. Kata “daripada” di sini memuat pesan: kritik dianggap kalah nilai dibanding riset “berdampak” versi pemerintah.
Bahaya Politik Kooptasi
Teori kooptasi (co-optation) dari sosiolog Philip Selznick menggambarkan bagaimana organisasi independen bisa kehilangan otonomi saat menerima sumber daya dari pihak dominan. Caranya halus: bukan dengan menekan, tapi dengan merangkul.
Dana riset ini, jika tak dikelola secara independen, dapat menjadi tali yang membatasi gerak. Riset mahasiswa cenderung “aman” dan tidak mengusik kebijakan sensitif. Proposal yang mengkritisi isu tambang ilegal, kebijakan pendidikan bermasalah, pemborosan anggaran untuk militer, atau pelanggaran HAM bisa jadi sulit lolos.
Dampak jangka panjangnya: BEM bergeser dari oposisi moral menjadi mitra pelaksana proyek kementerian. Peran advokasi memudar, tergantikan agenda sesuai RPJMN dan target birokrasi.
Mandat Moral Mahasiswa
Pasal 28E UUD 1945 menjamin kebebasan berkumpul dan berpendapat. Sejarah membuktikan bahwa perubahan besar—1966, Malari 1974, Reformasi 1998—lahir dari kritik, bukan sinergi dengan birokrasi.
Karena itu, ada lima landasan yang seharusnya dipegang BEM jika mengikuti program ini:
- Mekanisme independen – seleksi proposal oleh panel akademik dan unsur masyarakat sipil, bukan hanya pemerintah.
- Transparansi – tema dan anggaran terbuka untuk dipantau publik.
- Ruang kritik – topik struktural seperti pendidikan, kemiskinan, dan hak rakyat tidak dibatasi.
- Kajian politik – riset sosial harus memuat dimensi demokrasi, keadilan, HAM, dan anti-korupsi.
- Alternatif pendanaan – bermitra dengan donor independen, LSM, atau lembaga akademik.
Tanpa lima prinsip ini, program layak ditolak. Beberapa BEM, seperti BEM UI, BEM Universitas Riau, dan BEM IPB, sudah tegas menolak, menyebut dana riset ini sebagai upaya penjinakan.
“Bila pemerintah ingin mengurangi demonstrasi mahasiswa, caranya dengan membenahi negara, bukan dengan mengalihkan mahasiswa ke kegiatan lain,” tegas BEM UI.
Ujian Integritas Gerakan Mahasiswa
BEM hari ini berada di persimpangan sejarah. Menerima dana riset bukanlah kesalahan, selama otonomi gagasan dan keberanian bersuara tetap terjaga. Namun, jika dana itu menjadi tiket masuk lingkar kekuasaan yang membungkam kritik, sejarah akan mencatat generasi ini sebagai generasi yang menjual suara moralnya seharga Rp 120–300 juta.
Dana riset seharusnya membebaskan pikiran, bukan memasungnya. Sebab jika kritik mati, riset hanya akan menjadi catatan kaki laporan kementerian. Pemerintah lupa, secara historis mahasiswa tak mudah dibeli. Selama ketimpangan dan kebijakan sewenang-wenang masih ada, gerakan mahasiswa akan terus hidup—tak akan pernah benar-benar bisa dibungkam.