Narasi Krisni

Bukan Salah JTK

Malam menjelang waktu tidur, ketika sebagian besar orang bersiap menuju pembaringan, kepanikan di grup-grup WhatsApp justru membuat banyak orang terjaga dan menunda tidur. Berita tentang seorang pemuda yang nekat melakukan percobaan bunuh diri mengejutkan banyak pihak. Masyarakat berbondong-bondong memenuhi Jembatan Teluk Kendari (JTK). Tim SAR gabungan—terdiri dari pihak kepolisian, relawan kemanusiaan, hingga masyarakat umum—turut membantu proses pencarian. Pemuda yang diduga bernama Muh. Agil Ismail (22) itu menjadi pusat perhatian. Tak ada yang mengetahui pasti motivasi di balik tindakan nekatnya.

Sebelum kejadian ini, tercatat beberapa korban lain juga pernah melakukan tindakan serupa, di antaranya Erwin Guswanto (26 Mei 2025), Rizki Nurul (19 tahun, 26 April 2025), dan Yuli Munandar (6 Juni 2023). Ada pula upaya bunuh diri yang berhasil digagalkan, seperti seorang perempuan muda berinisial AY (25). Dan mungkin masih banyak lagi yang tidak terdokumentasikan.

Jembatan Teluk Kendari (JTK), atau yang dulu dikenal sebagai Jembatan Bahteramas, dibangun pada masa pemerintahan Gubernur Nur Alam. Proyek ini menelan biaya lebih dari 1,5 triliun rupiah dan kini menjadi ikon megah yang menyaingi kemegahan Jembatan Suramadu. Saat peresmian, hampir seluruh masyarakat Kendari dan sekitarnya antusias hadir menyaksikan dan berswafoto. Kita patut bersyukur memiliki jembatan seindah dan semegah ini. Melewati JTK seolah memberi nuansa kota metropolitan.

Namun, entah siapa yang pertama kali memiliki ide untuk melompat dari jembatan ini demi mengakhiri hidup. Sepanjang ingatan penulis, peristiwa pertama dilakukan oleh seorang mahasiswa pada April 2023. Peristiwa itu membuat masyarakat terhenyak dan bersedih. Sejak itu, kasus serupa mulai berulang—seakan JTK menjadi pilihan “tempat paling tepat” untuk mengakhiri hidup. Mengapa mereka memilih JTK? Ada banyak tempat lain yang bahkan lebih ekstrem, tetapi tetap saja JTK menjadi “tempat favorit”. Mungkin karena efek kejutnya besar. Saat seseorang melakukan percobaan bunuh diri di JTK, kerumunan segera terbentuk, media sosial riuh, dan harapannya mungkin agar orang yang menyakiti mereka merasa bersalah.

Lalu, apa penyebab mereka nekat? Faktor paling dominan adalah depresi karena masalah percintaan. Ini menandakan bahwa kondisi kesehatan mental di Sultra berada dalam status darurat. Karena kejadian semacam ini telah sering terjadi, pemerintah perlu mengambil langkah preventif sesegera mungkin. Perlu diadakan pertemuan bersama antara pihak pemerintah daerah, aktivis kemanusiaan, lembaga psikologi, dan tokoh masyarakat. Kasus seperti ini tidak boleh lagi dianggap lucu atau dijadikan ritual mistis, seperti melempar telur dan bunga ke jembatan. Kita harus mencari akar masalahnya, menggali penyebab depresi, dan membantu para korban menemukan solusi.

Yang terpenting: penguatan iman. Sebab, meskipun kita pasang pagar setinggi 10 meter di JTK, jika iman dalam diri mereka kosong, mereka akan tetap mencoba bunuh diri di mana pun. Sekali lagi, bukan salah JTK. Jembatan ini dibangun untuk mendukung transportasi dan menjadi kebanggaan wisata Kota Kendari. Ironis jika kita menyalahkan jembatan karena dijadikan tempat bunuh diri. Apalagi jika mulai beredar cerita horor seperti adanya naga di bawah jembatan. Jangan keterlaluan.

One thought on “Bukan Salah JTK

  • Henny Aishawa,SH

    Berlebihan atensi masyarakat terkait insiden bunuh diri tsb dengan share video terus jadiin meme meme dan menjudge jembatan adalah penyebab nya dll, menurut ku bunuh diri itu bukan trend tapi mental health yg masih jadi hal yg tabu di masyarakat kita sehingga kurang nya respons or respect terhadap keadaan atau lingkungan sekitar atau anak2 di sekeliling kita, saran saya kita harus lebih peduli terhadap anak2 kita dan lingkungan sekitar 🫰

    Reply

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *